Masalah Truk ODOL Dan Kekurangan BBM Warnai Rapat Komisi D DPRD Sulsel Untuk Persiapan Natal-Tahun Baru


Masalah Truk ODOL dan Kekurangan BBM Warnai Rapat Komisi D DPRD Sulsel untuk Persiapan Natal-Tahun Baru

Anggota Komisi D DPRD Sulsel dari dapil Soppeng dan Wajo

PABICARA.COM, MAKASSAR - Komisi D DPRD Sulawesi Selatan (Sulsel) menggelar rapat kerja bersama Pertamina, Dinas Perhubungan (Dishub) Sulsel, Dishub Makassar, dan Balai Transportasi Darat Kelas II Sulawesi Selatan, untuk membahas persiapan menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru 2025.

Rapat ini dipimpin langsung oleh Ketua Komisi D DPRD Sulsel, Kadir Halid, bersama Sekretaris Komisi, serta dihadiri oleh sejumlah anggota Komisi D.

Anggota Komisi D DPRD Sulsel, Sultan Tajang, yang mewakili daerah pemilihan (Dapil) Soppeng dan Wajo, menyampaikan, menjelang Natal dan Tahun Baru 2025, hampir setiap daerah di Sulsel, khususnya kota-kota besar, mengalami kepadatan lalu lintas. Hal ini terkait dengan mobilitas truk yang melintas di jalan poros nasional dan provinsi di Sulsel.

"Setiap kali pulang ke daerah, saya sering melihat truk-truk ini melintas dan membawa muatan yang melampaui batas yang diizinkan, atau biasa disebut dengan Over Dimensi Overload (ODOL). Dengan mobilitas truk yang tinggi di jalan poros nasional dan provinsi, saya ingin mengetahui apa tindakan yang akan diambil oleh Balai Transportasi Darat untuk mengatasi masalah ini. Jika dibiarkan, jalan-jalan nasional akan cepat rusak karena muatan yang dipaksakan." ungkapnya, Selasa (24/12/2024). 

Sultan Tajang juga menyoroti masalah parkir sembarangan truk, terutama di area jembatan timbang. 

"Truk sering menghindari jembatan timbang dan menumpuk di area tertentu, menunggu giliran atau menghindari pemeriksaan. Ini mengganggu kelancaran lalu lintas dan berpotensi membahayakan pengendara lain." katanya. 


Dia memberikan contoh di daerah pemilihannya, seperti di Kecamatan Sajoangin, Desa Solobulo, Kabupaten Wajo, yang sering mengalami antrian panjang. 


"Saat melintasi perbatasan antara Parepare dan Kabupaten Sidrap, kemacetan juga terjadi akibat truk-truk yang tidak mau masuk ke jembatan timbang karena kelebihan muatan," ujar Sultan Tajang.

Sultan Tajang juga menyampaikan kekhawatirannya terkait pengaturan distribusi BBM, khususnya di Kabupaten Wajo. 

"Di Wajo, hampir setiap hari ada masalah terkait distribusi BBM, terutama solar. Di beberapa SPBU, terkadang pengumpul BBM datang beramai-ramai, baik dengan kendaraan motor atau mobil yang telah dimodifikasi, dan mereka sering bolak-balik mengambil BBM dalam jumlah besar," beber politisi Gerindra ini.

Sultan menanyakan regulasi yang diterapkan oleh Pertamina terkait hal izin khusus untuk pengumpul yang membawa jerigen dalam jumlah besar? 

"Saya yakin masalah ini sering terjadi di daerah kami, terutama di SPBU tertentu."

Sultan Tajang juga menyoroti masalah kekurangan pasokan BBM, khususnya solar, yang terkadang tidak cukup untuk kebutuhan petani yang ingin turun ke sawah. 

"Di Kecamatan Sajoangin, Kabupaten Wajo, petani sering mengalami kesulitan mendapatkan solar" jelasnya.

Menjawab pertanyaan Dewan, Kepala Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Kelas II Sulawesi Selatan, Bahar Latif, menjelaskan bahwa pengendalian truk Over Dimensi Over Load (ODOL) merupakan kewenangan pihaknya. Pengawasan dilakukan di lapangan melalui tindakan tilang dan penurunan berat kendaraan sesuai dengan kapasitas muatan. Selain itu, berdasarkan instruksi dari Menteri Perhubungan sebelumnya, kendaraan yang melanggar akan diputar balik ke tempat asalnya.

"Memang ironis sekali, angkutan barang di Sulsel banyak yang beroperasi dengan muatan yang tidak sesuai dengan kelas jalan yang ada. Kelas jalan kita dibatasi maksimal 8 ton, namun banyak truk yang melintas dengan muatan lebih dari itu, bahkan ada yang mencapai 30 ton. Bayangkan jika masalah ini terus berlanjut, tentu akan menyebabkan kerusakan pada jalan," ungkap Bahar.

Bahar menambahkan bahwa BPTD Kelas II Sulsel selalu mengutamakan pemberian sanksi kepada pemilik kendaraan, berupa tilang, sebagai upaya untuk menekan pelanggaran.

"Masalah tilang memang menjadi perhatian kami. Sesuai dengan peraturan, denda maksimal yang dapat dikenakan adalah Rp500 ribu. Namun, dalam praktiknya, jika kasus ini diteruskan ke kejaksaan, denda yang diterima seringkali lebih rendah, seperti Rp300 ribu atau bahkan Rp200 ribu," jelasnya.

Bahar juga menceritakan pengalaman sebelumnya saat bertugas di Lampung, di mana pihaknya bersama Dinas Perhubungan (Dishub) setempat dan DPRD Lampung sempat membahas wacana untuk menaikkan denda tilang hingga mencapai Rp20 juta, guna memberikan efek jera kepada pengusaha truk yang melanggar peraturan.

"Ketika saya bertugas di Lampung, saya bersama Dishub dan DPRD setempat membicarakan wacana untuk menaikkan denda tilang hingga Rp20 juta. Kami merasa bahwa denda yang ada saat itu masih terlalu rendah, sehingga pengusaha truk tidak merasa ada efek jera. Dengan denda yang lebih tinggi, diharapkan dapat mengurangi pelanggaran dan meningkatkan kesadaran pengusaha truk akan pentingnya mematuhi aturan," ujarnya.

Sementara itu, Sales Area Manager Sulselbar Pertamina, Rainier Gultom menjelaskan bahwa Pertamina selaku operator mendapat penugasan dari Pemerintah dalam hal ini BPH Migas, mengatur pendsitribusian BBM bersubsidi, kepada seluruh lembaga penyalur sesuai dengan kuota yang dimiliki masing-masing lembaga penyalur.

"Dalam SK BPH Migas itu sudah merangkum beberapa jumlah kuota yang diberikan kedalam satu lembaga penyalur selama dalam waktu satu tahun. Tugas kami, mencoba memaksimalkan jumlah kuota per setiap lembaga penyalur tersebut dapat survive sampai akhir tahun kalender.

"Jadi apabila disatu wilayah itu, memang masih ada SPBU masih bisa operasional sampai jam berapa, ada terpaksa cepat sekali habis, ada yang mengukur itu karena memang kuotanya. Itu setiap harinya setiap SPBU tidak bisa dikategorikan sama," jelasnya.  

Menurut Rainier, itu sudah mencerminkan kebutuhan BBM yang sudah tergambar, atau tercapture di setiap lembaga penyalur di setiap wilayah masing-masing.  

"Misalnya di satu kabupaten,  ada SPBU mendapat pengiriman jam 6 pagi, tiba-tiba jam 8 atau 2 jam sudah tutup, ada yang sampai  jam 10 malam atau jam berapa masih bisa beroperasi karena memang  konsumen khususnya untuk solar mereka cenderung membeli di SPBU itu terus," ungkapnya

"Kami belum bergerak ke dalam konsumen nakal, jadi kalau untuk secara reguler, truk itu sudah mempunyai rute-rutenya, mereka sudah paham mana  SPBU pengirimannya jam berapa dan itu pasti tidak mau lagi ambil resiko untuk pindah ke SPBU lain karena takut tidak dapat," sambungnya. 

Ia menambahkan bahwa Pertamina telah berusaha mengantisipasi antrian dengan mengarahkan pengendara ke SPBU terdekat yang masih memiliki stok. Namun, kekhawatiran akan kehabisan BBM seringkali membuat pengendara tetap mengantre di satu SPBU.

Terkait pembelian BBM jenis solar menggunakan jerigen, kata Rainier memang sudah diatur bagi konsumen non kendaraan baik itu petani maupun nelayan. 

"Mereka boleh membeli di SPBU, boleh membeli BBM subsidi jenis solar, Pertalite tapi harus memiliki surat rekomndasi dari dinas terkait. Pertamina tidak berhak menolak apabila konsumen tersebut memiliki surat rekomendasi," tandasnya. (*)